Selamat datang disitus online senat mahasiswa Fakultas Ushuluddin ISID Demangan Siman Ponorogo

Sabtu, 09 Juni 2012

Fungsi keluarga dalam memberantas kemiskinan


Fungsi keluarga dalam memberantas kemiskinan
Imam Hadi Muslim/ AF IV

Disusun untuk memenuhi tugas
Dalam mata kuliah Komunikasi Dakwah
Yang diampu oleh: Ustd. H. Ahmad Suharto, S.Ag

Asslamualaikum warahmatullahi wabarokatuh....
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى آله وأصحابه أجمعين أما بعد.
قال رسوالله صلى الله عليه وسلم : الرّحم معلّقة بالعرش تقول: من وصلني وصله الله ومن قطعي قطعه الله (رواه البخارى ومسلم)

“Silaturahmi digantungkan di atas ‘Arasy (Menyambung persaudaraan dengan orang-orang yang masih ada hubungan famili, baik yang muhrim ataupun bukan. Caranya ialah dengan memberikan pertolongan baik berupa material ataupun moril. Dan menurut pengertian secara globalnya ialah menolong orang yang masih ada hubungan famili menurut kemampuan yang ada.) , ia berkata : Barang siapa menyambungkan hubungannya, maka Allah akan menyambungkannya, dan barang siapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskan hubungan silaturahmi dari ‘Arasy (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.)”. 

Dewasa ini kemiskinan sangat merajalela, setiap tahun selalu mengalami peningkatan khususnya di kota-kota besar dan sebagian kecil daerah pedesaan. Kelaparan, tunawisma, anak putus sekolah, pengemis berkeliaran, guru tidak sejahtera, kurang air bersih, gaji buruh dibawah minimum sampai kekerasan yang dipicu oleh banyaknya angka pengangguran masa produktif. Ada apa sebenarnya dengan negeri kita ini, pemerintah seolah bisu dan buta akan keadaan rakyatnya yang keleleran di jalan-jalan sebaliknya yang dipikir hanya masalah-masalah sampah: menang pemilu, pildaka, gesekan-gesekan antar kepentingan elite politik dan urusan perutnya sendiri, banyak waktu publik yang habis untuk dialihkan kepada perdebatan kepentingan elite saja dan hampir tidak ada yang memperdebatkan kepentingan rakyatnya. Akhirnya kaum muda yang tidak bermoralpun tau persis kalau politik itu kotor dan tidak akan pernah bercita-cita menjadi politisi seumur hidup.
Itulah sedikit gambaran negeri kita ini dengan carut-marutnya sistem dan mentalitas pemimpinnya, di satu sisi indonesia adalah negeri dengan penduduk muslim terbesar dunia dan negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, tetapi juga sangat jauh dengan nilai agama dalam penerapannya di pemerintahan khususnya. masyarakat sudah terbiasa dengan sifat individualis, rakus dan tamak yang di contohkan para pemimpinnya. Padahal islam sangat mengecam hal itu karena akan merusak tatanan masyarakat yang menyeluruh: ketidak adilan, kemiskinan, kelaparan bahkan berpotensi pada pemurtadan. Nauzubillah . . . .
“Syaitan menjanjikan(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat yang keji dan Allah menjanjikan kepadamu mpunan dan kurnia; dan Allah Maha Luas (kurniaNya) dan Maha Mengetahui” (Al-Baqarah[2]: 268)

Pembahasan
Berikut pendapat ahli tentang penyebab kemiskinan yang patut kita perhatikan. Namun, secara garis besar dapat dikatakan ada tiga sebab utama kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM akibat kultur masyarakat tertentu; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.
Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju.
Menyikapi semua itu bagi umat islam tak ada solusi lain selain kembali kepada ajaran Rasulullah SAW yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah karena sudah banyak terbukti ideologi dan konsep yang murni diciptakan oleh pemikiran manusia tak mampu menyelesaikan semua masalah manusia yang begitu komplek, beda halnya dengan islam yang membawa ajaran yang universal, semua masalah kehidupan telah dirangkum dalam satu paket yaitu agama yang terkandung di dalamnya: Aqidah, Syari’ah, Akhlaq dan lainnya yang mengatur semua hubungan manusia dengan Allah SWT juga antara manusia dengan manusia.    
Disini kita mengambil satu contoh permasalahan hidup yang tak dapat dihindari oleh semua manusia yang masih hidup di jagad raya ini yaitu “kemiskinan” kemiskinan, seperti yang sudah kita singgung diatas sangat berkaitan erat dengan sistem yang diterapkan dalam mengatur ekonomi di satu negara juga tergantung kualitas SDM yang jujur dan profesional dalam mengatur ekonominya. Dalam pemenuhan SDM yang profesional atau tenaga ahli dalam mengatur ekonomi negeri ini sebenarnya sudah sangat mencukupi untuk membawa negeri ini keluar dari kubangan kemiskinan dan kemunduran tapi, ternyata profesional saja itu tak cukup kita juga butuh manusia-manusia yang jujur dan amanah dalam setiap tugasnya. Masih, tapi juga karakter jujur dan amanah masih sangat minim di negeri kita ini, generasi muda yang digadang-gadang sebagai tenaga ahli masa depan tak dibekali dengan dua karakter tadi di sekolah maupun universitas, yang diajarkan di sekolah adalah bagaimana rumus untung saja bukan rumus kemaslahatan bersama. Wacana pendidikan berkarakter juga baru muncul beberapa bulan yang lalu karena refleksi dari maraknya korupsi-korupsi dan korupsi di pemerintahan. Maka timbul pertanyaan, Kemana saja pendidikan negeri ini yang hampir 68 tahun kok, baru bergulir pendidikan karakter hari ini ? apa yang salah dengan pendidikan negeri ini kok, melahirkan banyak koruptor ?[1] 
Makna dan Fungsi Keluarga
Tapi menghadapi kenyataan itu semua diatas umat islam tak perlu pesimis atau takut dalam menyongsong kehidupan yang harus dihadapinya baik sekarang maupun yang akan datang. Dalam salah satu ajaran agama kita Islam mengajarkan bahwa setiap muslim laki-laki yang telah mampu secara materil, ilmu, jasmani dan ruhani agar “menikah” karena menikah adalah ajaran Rasulullah SAW dan barang siapa yang tidak patuh terhadap Rasulullah SAW berarti bukan umatnya. Karena manfaat menikah sangat banyak sekali: memperkuat jalinan sanak keluarga baik pihak suami maupun istri, memperkuat masyarakat, juga negara.
Kaitannya dengan masalah pemberantasan kemiskinan juga harus diperhatikan, karena fungsi keluarga adalah untuk saling membantu. Dalam keluaga islam yang paling utama kita bantu ialah: keluaraga inti (ayah, ibu dan anak) kita, ayah dan ibu kita, keluaraga terdekat, baru kemudian orang lain. Masalahnya, di negeri kita khususnya fungsi keluaraga belum begitu maksimal, keluarga hanya sebatas acara ketika liburan bersama lebaran idul fitri atau idul adha saja tapi dalam keseharian hanya mementingkan keluarga inti saja. Terbukti, banyak orang miskin ada dimana-mana, pengemis juga berkeliaran dimana-mana, pengangguran usia produktif dan lain sebagainya. Lantas timbul pertanyaan dimana keluarganya ? dimana kerabatnya ? mungkinkah keluarga dan kerabat mereka miskin semua ? jawabnya, mereka punya keluarga dan kerabat bahkan diantaranya orang yang kaya. Tapi tidak ada yang mengakui dan memperhatikan mereka. Padahal gampang saja kerabat terdekat yang kaya memberi pekerjaan kepada kerabatnya yang masih sulit mendapatkan lapangan pekerjaan. Hendaknya sebelum negara turun tangan mengatasi masalah itu kerabatlah yang bertanggung jawab atas keluarganya. Karena memang itulah salah satu fungsi penting menikah dalam islam, pernikahan bukan formalitas dan pemenuhan kebutuahan biologis saja.
Manusia takkan mencapai kehidupan tenteram tanpa pergaulan di dalam suatu kelompok tertentu yang mengikat dirinya dengan hak-hak dan berbagai kewajiban di dalam kelompok tersebut. Sebab, andaikata kehidupan seorang manusia itu tanpa mengelompokkan diri pada suatu kelompok tertentu, maka ia bagai kambing yang memisahkan diri dari “regunya”. Ia akan merana dan hidup sengsara. 

Yang dimaksud dengan kelompok di sini adalah hubungan dalam bentuk kekeluargaan. Keluarga adalah bagian dari masyarakat yang merupakan sumber kebahagiaan bagi masyarakat itu sendiri. Dengan melalui hubungan kekeluargaan, seseorang bisa memperoleh hak-haknya yang patut dikabulkan. Selain itu ia akan merasa tenteram dan aman di bawah naungannya. Karenanya, Islam mengajarkan agar para pemeluknya selalu berpegang pada tata hubungan kekeluargaan ini dan mendahulukan kepentingannya ketimbang kepentingan lainnya. Di lain pihak Islam juga mengancam orang-orang yang memutuskan hubungan ini, dan akan mendapatkan siksa yang pedih. Sebab, perbuatan tersebut merupakan tindakan dosa. 
Fungsi internal keluarga adalah interaksi antar anggota keluarga (ayah, ibu, anak) yang saling menyayangi dengan motivasi ibadah. Selain itu mereka berusaha untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan dalam keluarga. Sedangkan fungsi eksternal keluarga adalah setiap anggota keluarga memiliki tanggung jawab terhadap bangunan masyarakat yang kuat dan lurus seperti yang diajarkan agama Islam, karena keluarga memiliki bagian dari sebuah masyarakat.
Di dalam Islam, kekeluargaan mempunyai dua kata sinonim. Terkadang diistilahkan dengan arham (famili), dan terkadang dengan istilah dzawi’l-qurba (kerabat terdekat). 

Di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan pengertian dzawi’l-qurba ialah : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan”. (Q.S. 17 : 28). 

Di dalam ayat lain Allah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah : ‘Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. (Q.S. 2 : 215). 

Al-Qur’an juga memberikan prioritas tinggi terhadap kerabat dekat untuk menerima perhatian (kebaikan) dan diutamakan kepentingannya lebih daripada lainnya. 

Di dalam Al-Qur’an dikatakan mengenai al-arham : “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lainnya dan (peliharalah) hubungan silaturahmi”. (Q.S. 4 : 1). 

Ayat tersebut memerintahkan kepada kita agar bertakwa kepada Allah atau melaksanakan segara perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Setelah itu Allah memerintahkan menyambung hubungan silaturahmi dan memenuhi hak-haknya, serta jangan memutuskan hubungan tersebut. 

Di dalam hal ini Allah berfirman yang melarang pemutusan hubungan silaturahmi : “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”. (Q.S. 47 : 22-23). 

Rasulullah juga pernah bersabda :

 مامن ذنب اججدر ان يعجّل الله لصاحبه العقوبة فى الدّنيا مع ما يدخّرله فى الاخرة من: البغي وقطيعة الرّحم. (رواه البخارى والترمذى وابن ماجه) 

“Tak ada suatu perbuatan dosa apapun yang lebih berhak disegerakan hukumannya oleh Allah di dunia ini, di samping yang akan diterimanya di akherat, selain daripada perbuatan zina dan memutuskan hubungan kekeluargaan” (Hadits riwayat Bukhari, Turmudzi dan Ibnu Majjah.). 

Sabda Nabi yang lain :
 لايدخل الجنّة قاطع رحم (رواه مسلم) 

“Takkan bisa masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan (silaturahmi)” (Hadits riwayat Muslim.). 


Allah berfirman : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S. 4 : 7). 
Allah Swt. berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Waris pun berkewajiban demikian…” (QS al-Baqarah [2]: 233).
Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkah dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi, melainkan yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris.[2]
Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya.
Kesimpulan
Untuk membantu mengentaskan kemiskinan di masyarakat kita, fungsi keluarga dalam islam harus lebih di renungi lagi. Karena kalau setiap keluarga memaksimalkan fungsinya (memperhatikan kerabatnya) dalam masyarakat, kemiskinan akan cepat sekali teratasi secara menyeluruh.
Penutup
Mungkin ini saja dari kami, kurang dan lebihnya kami mohon maaf
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


[1] Pen_

0 komentar:

Posting Komentar