oleh: Abdullah Muslich Rizal Maulana*
Wal’
asri.
Demi waktu.
Kalimat yang
menjadi pembuka ini sungguhlah ringan, namun sangat tajam dan sarat dengan sekian arti. Allah tidak sembarangan
memilih kalimat waktu sebagai awal dari
sebuah surat-Nya. Sebuah komponen yang merupakan bagian dari kitab suci yang
membedakan antara Haq dan Batil, petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang mau mempelajarinya. Singkatnya, Al-Qur'an sangat istimewa dan yang berada di dalamnya adalah segala macam yang istimewa.
Maka setelah itu muncul pertanyaan; Ada apa
dengan waktu? Apa yang membuatnya mampu berada dalam sebuah eksistensi yang istimewa ini?
Imam
al-Ghazali pernah berkata,” sesuatu yang paling jauh adalah
MASA LALU. Bagaimanapun kita, apapun
kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita
harus menjaga hari ini dan hari-hari
yang akan datang dengan perbuatan
yang sesuai dengan ajaran Agama.”
Waktu
teramat urgen dalam sebuah esensitas kehidupan. Segala macam kehidupan teratur,
terjadwal dalam sebuah rencana perincian karena adanya waktu. Peredaran dan
sirkulasi perputaran kehidupan manusia pun terkekang dalam waktu. Bahkan dalam
kehidupan duniawai pun waktu selalu menjadi standar. Orang yang rajin dan malas
dapt dibedakan antara yang sering terlambat atau tidak dalam perkerjaannya.
Etos seseorang yang belum dapat berpegang teguh pada komitmen waktunya pun
dipertanyakan.
Maka waktu,
dalam aspek ukhrawi maupun duniawi sangatlah berkaitan. Sedikit saja kita
terlambat datang ke kantor, atasan akan berpandangan negatif, bekerja tidak
nyaman, hasil tidak maksimal, dan akhirnya pendapatan pun tidak sesuai dengan
yang diinginkan. Ketika muda hobinya senang-senang, ketika mau wafat, bingung
bagaimana cara menambah kebaikan. Tatkala nafas terakhir ingin tercabut, barulah
dia menyesal. Dan sebagainya, dan sebagainya, kejadian itu hanyalah rekaman
drama yang selalu diputar ulang dan seakan-akan menjadi pemandangan biasa dalam
hidup kita. Padahal nyatanya, tidak.
Seringkali
kita tertipu oleh waktu, padahal seyogyanya waktu itu tidak mampu berpikir
untuk sekedar melahirkan ide iseng. Seringkali kita terbengkalai oleh waktu,
padahal nyatanya waktu tidak punya lisan untuk membujuk. Seringkali kita lalai
oleh waktu, padahal waktu tidak pernah mampu bergerak. Lantas kenapa kita sering
tertipu, lalai, dan terbengkalai oleh waktu?
Komitmen
pada pribadi merupakan kunci. Kalimat Imam Ghazali hanya sekedar contoh, yang
secara tidak langsung mengatakan ‘toh manusia pasti akan menyesal, lantas apa
yang harus dilakukan?’
Maka lebih
baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Di umur kita yang sekarang 40, 50,
60, bahkan 70 tahun sekalipun merupakan waktu yang masih direzekikan Allah
kepada kita manusia untuk berbuat sebaik-baiknya. Prestasi kehidupan selaras
pula dengan amal kebajikan. Kerjakan tepat waktu tanpa harus ada penundaan,
selesaikan semuanya dengan berpegang teguh pada komitmen. Bukankah motivasi
terbesar itu adalah pribadi sendiri?
Allah dengan
sangat luar biasa membahas waktu sebagai salah sebuah wahyu-Nya. Allah sudah
cukup berbicara lewat Al-Qur’an, tinggal sekarang sebuah pertanyaan yang
tersisa itu; ‘bagaimana manusia lebih banyak mendengar?’
Pribadi
adalah motivasi terbesar, komitmen diri adalah ikatan tertinggi. Semoga setelah
ini kita bisa menjadi pribadi yang mampu berkomitmen dalam mengamalkan makna
tertinggi dari Wal’ asri. Aamiin, Alllahumma Aamiin.
*Penulis adalah mahasiswa fakultas Ushululddin program studi Akidah Filsafat IV Institut Studi Islam Darussalam-Gontor
0 komentar:
Posting Komentar